Kotagede adalah sebuah kota lama dari abad ke 16 yang pernah menjadi ibu kota Kerajaan Mataram Islam, didirikan oleh Ki Gede Pemanahan. Ki Gede Pemanahan adalah seorang abdi perajurit Kerajaan Pajang dengan rajanya bernama Sultan Adiwijaya (dikenal juga dengan nama Mas Karebet atau Jaka Tengkir). Sultan Adiwijaya mempunyai musuh seorang keturunan Demak bernama Arya Penangsang (Adipati Jipang), yang selalu mengancam akan menyerangnya. Sehubungan dengan hal itulah Sultan Adiwijaya berjanji akan memberikan tanah Mataram dan Pati kepada siapa yang dapat membunuh Arya Penangsang.
Ki Gede Pemanahan bersama putranya Sutawijaya dengan dibantu sahabatnya Ki Penjawi kemudian berhasil membunuh Arya Penangsang. Peristiwa tersebut juga kemudian mengakhiri perang Pajang dengan Jipang tahun 1558. Sehubungan dengan itu juga mereka dihadiahi Sultan Adiwijaya daerah Pati dan Mataram. Ki Gede Pemanahan memilih daerah Mataram karena tanahnya subur walaupun masih berupa hutan. Karena itu Ki Penjawi mendapat daerah Pati yang sudah merupakan daerah terbuka dan sudah ramai. Ki Penjawi dan keluarganya segera berpindah ke Pati, sedangkan tanah Mataram masih ditunda penyerahannya oleh Sultan Adiwijaya. Bahkan Ki Gede Pemanahan lebih dulu disuruh ke bukit Danaraja memberi tahu Kalinyamat tentang terbunuhnya Arya Penangsang. Kalinyamat melakukan tapa setelah saudaranya (Sunan Prawata raja Demak) dibunuh oleh Arya Penangsang. Setelah mendengar berita itu Kalinyamat memberi beberapa hadiah pusaka kepada Ki Gede Pemanahan termasuk dititipi beberapa putri pingitan untuk disampaikan ke Pajang. Salah seorang dari putri tersebut kemudian tinggal bersama Ki Gede Pemanahan, yang kelak menjadi isteri Senapati (raja Mataram pertama). Konon penundaan penyerahan tanah Mataram kepada Ki Gede Pemanahan tersebut ada kaitannya dengan ucapan Sunan Giri yang mengatakan bahwa kelak akan ada raja yang sangat berkuasa dan akan menguasai seluruh tanah Jawa. Karena itu setelah Ki Gede Pemanahan berjanji di hadapan Sunan Kalijaga bahwa ia akan tetap setia kepada Kerajaan Pajang, barulah Sultan Adiwijaya bersedia menyerahkan tanah Mataram kepada Ki Gede Pemanahan.
Ki Gede Pemanahan dan keluarga serta pengikut-pengikutnya mulai bermukim di tanah Mataram dan menempati istananya di Kotagede pada tahun 1577. Ki Gede Pemanahan terus membangun daerahnya yang berupa hutan tersebut. Daerah Mataram kemudian semakin lama menjadi daerah besar dan berpengaruh. Hal ini menimbulkan kekhawatiran juga bagi Sultan Adiwijaya, sebab hal itu bisa mengancam eksistensi Kerajaan Pajang.
Sementara itu Ki Gede Pemanahan semakin yakin kalau dari tanah Mataram akan lahir penguasa atau raja besar yang akan menguasai tanah Jawa. Hal itu karena ketika ia berkunjung ke rumah temannya Ki Ageng Giring seorang nderes aren di Gunung Kidul, secara kebetulan ia meminum air kelapa muda milik Ki Ageng Giring, yang menurut pemiliknya pernah ada suara memberi tahu kepadanya bahwa siapa yang akan minum air kelapa muda tersebut sampai habis, maka seluruh keturunannya akan menjadi raja menguasai tanah Jawa. Hal itu ditafsirkan bahwa wahyu keraton jatuh kepada Ki Gede Pemanahan. Tetapi walaupun demikian karena Ki Gede Pemanahan telah berjanji kepada Sultan Adiwijaya untuk tidak menjadi raja Mataram, maka sampai ia meninggal pada tahun 1584 ia selalu taat sebagai bawahan raja Pajang.
Setelah Ki Gede Pemenahan meninggal, Sultan Pajang kemudian menunjuk Sutawijaya (anak Ki Gede Pemanahan yang diambil anak angkat oleh Sultan Adiwijaya) menggantikan Ki Gede Pemanahan sebagai penguasa Mataram, dan diberi gelar Senapati Ing Alaga.
Senapati yang masih muda itu setelah resmi menjadi penguasa di Mataram, iapun mulai mengadakan persiapan untuk memerdekakan tanah Mataram dari kekuasaan Pajang. Ia mulai membangun tembok keliling istananya di Kotagede. Bersamaan dengan itu Adipati Kedu dan Bagelen juga sudah membangkang tidak membayar pajak kepada Pajang. Kemudian Senapati Mataram pun mengabaikan kewajibannya terhadap Pajang. Ia tidak datang memberikan penghormatan tahunan ke Pajang, bahkan ia menggagalkan hukuman yang harus dilaksanakan atas perintah raja terhadap keluarga Tumenggung Mayang karena pelanggaran yang dilakukan anaknya, dan Senapati bahkan melindunginya.
Karena itulahh raja Pajang marah, sehingga bersama pasukannya menyerang ke Mataram. Tetapi dekat Perambanan pasukannya cerai berai akibat letusan Gunung Merapi dan meluapnya Sungai Opak. Sultan Adiwijaya beserta sisa-sisa pasukannya kembali lewat Tembayat, di mana ia merasa bahwa kerajaannya telah berakhir. Setelah sampai di kotapraja Pajang Sultan Adiwijaya jatuh sakit, dan pada tahun 1587 akhirnya meninggal dunia. Putranya bernama Pangeran Benowo disingkirkan oleh Arya Pengiri dari Demak dan dijadikan Adipati Jipang. Tetapi sebagai sultan Pajang Arya Pengiri karena tindakan-tindakannya tidak disenangi rakyat. Sementara itu Pangeran Benowo minta bantuan kepada Senapati Mataram untuk menyerang Arya Pengiri. Pajang pun diserang dari dua jurusan, sehingga Arya Pengiri menyerah kepada Senapati. Pangeran Banowo yang merasa tidak sanggup menghadapi Senapati temannya itu, kemudian bersedia mengakui kekuasaan Senapati. Sehingga keraton Pajang pun dipindahkan ke Mataram.
Pusat kekuasaan Kerajaan Mataram berada di Kotagede, 6 km dari Yogyakarta. Kotagede sebagai ibu kota kerajaan bisa juga disebut Pasargede sebagai pusat perdagangan. Di sini tinggal orang-orang kaya karena usaha dagangnya yang maju. Di Kotagede terdapat peninggalan yang tampak saat ini, seperti Masjid Mataram Kotagede, Watu Gilang dan Watu Gateng. Senapati meninggal tahun 1601, makamnya juga terdapat di Kotagede. Penggantinya anaknya yang bernama Mas Jolang (Penembahan Seda Kerapyak) yang pada masa pemerintahannya menghadapi banyak pemberontakan, mulai dari Demak, Ponorogo dan Surabaya. Mas Jolang wafat pada tahun 1613. Makamnya juga terdapat di Kotagede.
Penggati Mas Jolang adalah Adipati Martapura, yang karena sakit-sakitan tidak sanggup memerintah. Ia digantikan oleh saudaranya yang bernama Raden Rangsang yang lebih dikenal dengan nama Sultan Agung. Pada masa pemerintahannya (1613-1645) Mataram mengalami masa kejayaan.
Sultan Agung memindahkan ibu kota Kerajaan Mataram ke Kerta. Keraton itu mulai dibangun secara besar-besaran pada tahun 1625, dua belas tahun setelah Sultan Agung naik tahta. Sebelumnya keraton Sultan Agung masih sangat sederhana. Menurut Jan Vons duta VOC yang mengunjungi Mataram tahun 1624 menyebutkan bahwa keseluruhan kompleks bangunannya masih terbuat dari kayu, bagian sitinggilnya (tempat penghadapan) belum ada. Sitinggil dibangun baru dibangun pada tahun 1625 atau tahun 1547 Saka yang ditandai dengan candrasengkala kuda awarna yaksa, dengan mengerahkan banyak sekali tenaga kerja dari berbagai penjuru daerah untuk menyelesaikannya. Hebatnya pembangunan kompleks keraton Sultan Agung tersebut digambarkan dari berita tentang banyaknya penduduk yang melarikan diri karenna tidak dapat lagi beristirahat akibat banyaknya pekerjaan yang ditugaskan kepada mereka oleh raja.
Sultan Agung dikenal juga sebagai raja besar yang bergelar Senapati Ing Alaga Ngabdur Rachman. Ia berhasil menguasai seluruh wilayah pantai utara Jawa yang terbentang dari Karawang hingga Pasuruan. Serta daerah yang disebut mancanegara (Priaman Timur, Banyumas, Madiun, Jipan, dan Grobogan). Sultan Agung juga pernah menyerang Batavia pada tahun 1628 dan tahun 1629 walaupun hasilnya gagal karena kekurangan makanan dan persenjataan yang tidak seimbang.
Sultan Agung meninggal tahun 1645, ia digantikan oleh putranya bernama Sunan Amangkurat I. Raja Mataram yang baru ini ternyata tidak mau menempati keraton ayahnya. Ia memindahkan pusat kerajaan dan mendirikan keraton baru di Plered. Diduga keraton telah rusak sebagai akibat bencana kebakaran yang cukup meluas di keraton Kerta. Lokasi keraton Plered tidak begitu jauh dari Kerta.
Pembangunan keraton Plered oleh Sunan Amangkurat I tidak kalah dengan keraton Kerta ketika dibangun oleh Sultan Agung. Pekerjaan yang paling banyak menyita waktu dan tenaga dalam pembangunan keraton Plered adalah ketika pembuatan bendungan-bendungan. Amangkurat I pada waktu itu sangat mengidamkan sebuah keraton di sebuah pulau buatan. Oleh karena itulah ia membangun telaga buatan yang sedemikian besar dan bendungan-bendungan tersebut. Cita-citanya itu memang terkabul. Seorang utusan VOC bernama Abraham Verspreet yang pada tanggal 16 Oktober 1668 berkunjung ke keraton Plered menceritakan bahwa ia telah melewati jembatan di atas parit yang mengelilingi keraton dan baru kemudian tiba di alun-alun. Dengan demikian Sunan Amangkurat I bagaikan tinggal di sebuah istana di atas sebuah pulau kecil.
Kejayaan keraton Amangkurat I yang megah itu tidak berlangsung lama. Tanggal 2 Juli 1677 keraton Plered diserang pasukan dari Madura dibawah pimpinan Trunajaya (Pangeran dari Madura yang kesal karena besarnya pengaruh Belanda di Mataram). Keraton dapat direbut oleh pasukan Trunajaya, dan Sunan Amangkurat I berhasil meloloskan diri. Segala alat-alat pusaka kerajaan kemudian dibawa oleh Trunajaya ke Kediri. Sementara itu dalam pelariannya Sunan Amangkurat I jatuh sakit sehingga meninggal (1667). Ia dimakamkan di Tegalarum (selatan Tegal).
Adipati Anom menggantikan ayahnya sebagai Sunan Amangkurat II. Tetapi adiknya yang bernama Pangeran Puger juga menyebut dirinya sebagai sunan. Sunan Amangkurat II dengan bantuan Kompeni Belanda (setelah bersedia menandatangani perjanjian yang merugikan Mataram) kemudian merebut Kediri yang dijadikan markas pasukan Trunajaya. Tanggal 27 Nopember 1678 Speelman sebagai Direktur Jenderal Kompeni (diwakili Anthony Hurt pimpinan penyerangan ke Kediri), menyerahkan kembali alat-alat pusaka kerajaan yang dibawa Trunajaya dari Plered kepada Sunan Amangkurat II. Sementara itu Trunajaya dengan pasukannya yang bertahan dan terkurung di Gunung Kelud akhirnya menyerah kepada pasukan Kompeni dibawah pimpinan Kapten Jongker (1679). Ia diserahkan kepada Sunan Amangkurat II, yang akhirnya membunuhnya beberapa hari kemudian (2 Januari 1680).
Sekarang yang menjadi musuh besar bagi Amangkurat II adalah adiknya sendiri, yakni Pangera Puger yang menamakan dirinya sebagai sultan dan berkedudukan di Plered. Setelah keraton Plered dapat direbut oleh tentara Mataram, ternyata Pangeran Puger sudah melarikan diri. Amangkurat II juga tidak mau lagi tinggal di keraton lama tersebut. Hal itu selain keadaan keraton sudah banyak yang rusak serta terlantar tidak terpelihara, lebih-lebih karena menurut kepercayaan, sebuah keraton yang pernah diduduki musuh berarti tidak suci lagi dan akan mendatangkan bencana. Karena itu ia menyuruh membuat keraton baru di Wonokerto yang terletak di sebelah barat Pajang. Ibu kota Kerajaan Mataram yang baru ini dinamakan Kartasura. Menurut Babad Tanah Jawi Sunan Amangkurat II menempati istananya yang baru tersebut pada tanggal 11 September 1680 (27 Ruwah 1603).
Keadaan Kerajaan Mataram Kartasura yang berdiri selama kurang lebih 60 tahun (1680-1746) mengalami pasang surut. Sejak Amangkurat II naik tahta ia terus bersengketa dengan adiknya Pangearan Puger. Bahkan ketika ia digantikan oleh anaknya, yakni Sunan Mas yang bergelar Sunan Amangkurat III, Pangeran Puger dapat merebut tahta kerajaan pada tahun 1709. Pangeran Puger kemudian bergelar Sunan Paku Buwana I. Perebutan kekuasaan oleh Pangeran Puger terhadap Amangkuurat III inipun juga karena adanya bantuan Kompeni Belanda. Perang ini berakhir setelah Kompeni Belanda dapat menagkap Sunan Amangkurat III, dan kemudian membuangnya ke Srilangka.
Suunan Paku Buwana I (Pangeran Puger) meninggal tahun 1719 putranya yang bernama Pangeran Mangkunegara dengan dukungan Kompeni Belanda menggantikannya dan bergelar Sunan Amangkurat IV. Namun dua saudaranya, yakni Pangeran Purbaya dan Pangeran Belitar berusaha untuk merebut kekuasaan. Kedua pangeran itu pindah ke Kerta keraton yang pernah dibangun oleh Sultan Agung. Demikian pula saudaranya yang lain, yakni Pangeran Diponegoro pergi bergabung dengan pemberontak dari Surabaya.
Keadaan menjadi semakin rumit ketika saudara Sunan Paku Buwana I, yakni Pangeran Arya Mataram pergi ke Pati dan juga mengaku sebagai sunan. Perselisihan antara Sunan Amangkurat IV dengan Pangeran Purbaya, Pangeran Blitar, Pangeran Diponegoro dan Arya Mataram ini berakhir setelah keempatnya berhasil ditangkap dan dibuang ke Srilangka.
Sunan Amangkurat IV meninggal pada tahun 1727. Ia diganti oleh putranya, yakni Sunan Paku Buwana II (1727-1749). Pada masa pemerintahannya terjadi pula perpecahan dalam istana. Kedua saudaranya, yakni Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Mangkunegara terlibat dalam pertarungan terbuka. Pada masa pemerintahannya terjadi pula geger yang dilakukan oleh orang-orang Cina (Pemberontakan Cina tahun 1740). Pemberontakan Cina ini terjadi di Batavia yang menjalar ke berbagai kota di Jawa sebagai akibat tekanan pajak yang dibebankan kepada mereka. Paku Buwana II yang memihak Kompeni Belanda dan bahkan memecat Patih Natakusuma yang memihak perlawanan Cina, Gencarnya perlawanan orang-orang Cina membuat orang-orang Belanda meraca terancam keselamatannya. Kompeni memutuskan untuk meminta bantuan kepada Pangeran Cakraningrat dari Madura, yang sejak lama ingin melepaskan diri dari Mataram. Cakraningrat bersedia membantu asal diperbolehkan melepaskan diri dari Kartasura. Kompeni mengizinkan dan bahkan membiarkan Cakraningrat menduduki beberapa daerah di Jawa Timur (Gersik, Lamongan dan Tuban).
Tanggal 30 Juni 1742 para pemberontak Cina bersama dengan pemberontak-pemberontak lain, antara lain Bupati Pati, Bupati Grobogan, serta Mas garendi (putra Pangeran Tepasana), berhasil merebut keraton Kertasura sehingga Sunan Paku Buwono II melarikan diri ke Ponorogo. Orang-orang Cina kemudian mengangkat Raden Mas Garendi (Sunan Kuning) sebagai sultan tandingan dan menjadi raja di Kartasura menggantikan Sunan Paku Buwana II.
Pasukan Kompeni segera memberikan bantuan kepada Sunan Paku Buwana II untuk merebut kembali keraton Kartasura. Tetapi ternyata sudah didahului Pangeran Cakraningrat merebut keraton Kartasura dari Mas Garendi. Karena itu Kompeni lewat pembesar Belanda di Semarang Raynier de Klerk meminta secara baik-baik agar Cakraningrat kembali ke Madura.
Mas Garendi (Sunan Kuning) yang sempat bertahta di keraton Kartasura kemudian dapat ditangkap dan diserahkan kepada Gubernur Belanda di Semarang.
Tanggal 24 Desember 1742 Sunan Paku Buwana II dapat kembali dari Ponorogo ke keraton Kartasura. Tetapi sejak kembali ke Kartasura Sunan Paku Buwana II tidak tenang. Istananya dalam keadaan rusak sehingga ia memutuskan untuk membangun istana di tempat lain. Ia menginginkan keratonnya nanti dibangun di sebuah tempat yang terletak di sebelah timur Kartasura. Untuk itu para patihnya mengusulkan ada tiga tempat, yakni Desa Kadipala, Desa Sala, dan Desa Sanasewu. Akhirnya atas dasar beberapa pertimbangan para patihnya menetapkan untuk mengusulkan Desa Sala.
Tetapi Sunan Paku Buwana II kembali meminta kepada empat orang pejabat istana lainnya untuk melakukan penelitian dan pengecekan lebih lanjut. Hasilnya didapat keterangan dari sesepuh Desa Sala yang bernama Kyai Gede Sala bahwa daerah itu merupakan tempat di mana dimakamkan Raden Pabelan dari Tumenggung Mayang yang dibunuh karena tertangkap basah bermain asmara dengan putri Ratu Emas putri Sultan Adiwijaya raja Pajang. Mayatnya dihanyutkan di sungai Laweyan dan terdampar di tepi sungai di sebelah timur Desa Sala. Penguasa Desa bernama Bekel Kyai Sala menemukannya dan kemudian mengebumikannya. Karena Bakel Kyai sala tidak tahu nama mayat itu maka disebutnya Kyai Bathang. Ketika itu ia mendapat wangsit bahwa di belakang hari tempat itu akan menjadi sebuah kerajaan besar dan sejahtera.
Setelah mendapat penjelasan dari Kyai Gede Sala, keempat utusan sunan segera mengunjungi makam Kyai Bathang. Tempat itu ternyata sebuah kawasan yang indah. Kekurangannya adalah karena dekat dengan rawa yang lebar dan dalam. Diceritakan bahwa untuk menutup sumber air rawa tersebut telah diterima wangsit agar sultan menggunakan gung dan ledek, yang ditafsirkan harus dengan menyerahkan uang kepada pemilik tanah, yakni Kyai Gede Sala. Karena itu kemudian Sunan Paku Buwono II menyerahkan uang 10.000 ringgit kepada Kyai Gede Sala sebagai konsesi atas penyerahan tanah di kawasan Desa Sala tersebut.
Kyai Gede Sala atas hasil semedi di makam Kyai Bathang berhasil menutup sumber air rawa tersebut dengan menggunakan bunga delima dan daun lumbu, di samping menggunakan beribu-ribu balok-balok kayu yang diminta Sultan kepada para adipati daerah-daerah yang berada di bawah kekuasaannya.
Setelah rawa mulai kering, maka pembangunan istana pun dimulai. Pembangunan keraton dinyatakan selesai pada tahun 1745, walaupun pagar kelilingnya masih dibuat dari bambu. Pada tanggal 17 Februari 1746 Sunan Paku Buwono II pindah menempati keraton barunya di Desa Sala. Pemindahan ibu kota kerajaan Mataram dari Kartasura ke Desa Sala tersebut digambarkan berlangsung dalam upacara prosisi sesuai adat yang lazim dilakukan para raja. Sunan Paku Buwana II kemudian menyampaikan pernyataan bahwa Desa Sala sebagai ibu kota kerajaan dirubah namanya menjadi Surakarta Adiningrat.
Selanjutnya Sunan Paku Buwana II di samping terus membangun keraton, juga harus menangani masalah perpecahan dalam istana dan adik-adiknya yang masih memberontak. Ada Pangeran Arya Buminata dan Pangeran Arya Singasari (dua adiknya), Raden Mas Said serta Pangeran Mangkubumi. Perpecahan dalam istana ini kemudian dapat diatasi dengan bantuan Kompeni Belanda. Tapi harus dibayar dengan mahal, karena Sunan Paku Buwana II harus menyerahkan Mataram pada tanggal 11 Desember 1749 kepada Kompeni Belanda, dan sejak itu raja Mataram hanya hanya disebut vassal (pimpinan). Penendatanganan surat kontrak penyerahan Mataram kepada Kompeni Belanda tersebut berlangsung saat Sunan Paku Buwana II dalam keadaan sakit keras.
Pangeran Mangkubumi (saudara kandung Sunan Paku Buwana II) yang waktu itu sudah meninggalkan istana, ketika tahu kelicikan Kompeni Belanda tersebut, dia tidak bisa menerima dan kemudian menyatakan dirinya sebagai sunan. Pangeran Mangkubumi meninggalkan istana karena kecewa kepada Sunan Paku Buwana II yang tidak menepati janji akan memberikan hadiah tanah sewaktu dia dapat meredam pemberontakan yang dilakukan oleh Raden Mas Said dan Tumenggung Martapura. Karena itu Pangeran Mangkubumi meninggalkan istana melakukan perlawanan, dan bahkan bergabung dengan Raden Mas Said dan Tumenggung Martapura yang dahulu menjadi lawannya. Mereka kemudian bersama-sama melawan Sunan Paku Buwana II dan Kompeni Belanda.
Setelah Pangeran Mangkubumi meninggalkan istana pada akhir tahun 1749 tersebut, Sunan Paku Buwana II jatuh sakit. Dalam keadaan sakit itulah Suan Paku Buwana II menandatangani kontrak yang sangat merugikan Mataram tersebut. Sembilan hari setelah menandatangani kontrak, yakni tanggal 20 Desember 1749 Sunan Paku Buwana II meninggal dunia. Penggantinya Adipati Anom dinobatkan sebagai Sunan Paku Buwana III sebagai wakil Kompeni Belanda memerintah Mataram. Ia harus menandatangani surat kontrak yang menyatakan kekuasaannya diperoleh atas kebaikan hati Pemerintah Kompeni Belanda.
Selanjutnya untuk menghadapi Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said maka Kompeni Belanda melakukan politik devide et impera, yang berhasil memisahkan keduanya. Perlawanan Pangeran Mangkubumi baru berakhir setelah ditandatanganinya Perjanjian Gianti tanggal 13 Februari di Desa Gianti. Isinya Kerajaan Mataram dibagi dua sama antara Sunan Paku Buwana III dengan Pangeran Mangkubumi yang selanjutnya bergelar Sultan Hamengku Buwana I. Sunan Paku Buwana III tetap bertahta di Kesunanan Surakarta yang beribu kota di Surakarta, sedangkan Sultan Hamengku Buwana I bertahta di Kesultanan Ngayogyakarta (Yogyakarta) Adiningrat yang beribu kota di Yogyakarta di Desa Bringharjo.
Setelah Perjanjian Gianti pergolakan dalam kerajaan masih juga terjadi. Raden Mas Said terus melanjutkan perang melawan Kompeni Belanda, Sunan Paku Buwana III dan Sultan Hamengku Buwana I. Raden Mas Said adalah kemanakan dan menantu Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengku Buwana I) dan pernah menjadi wazirnya, bergelar Pangeran Adipati Mangkunegara. Tetapi kekuatan gabungan dari Sunan Paku Buwana III, Sultan Hamengku Buwana I dan Kompeni Belanda ternyata terlalu kuat bagi Raden Mas Said. Setelah mengalami kekalahan di daerah Kuwu, Raden Mas Said menyingkir ke Desa Lawang kemudian ke Sukawati, di tempat ini ia diminta utusan Sunan ntuk berdamai dan diajak kembali ke Kartasura. Setelah Sunan Paku Buwana III dapat menyetujui permintaan Raden Mas Said yang meminta agar semua daerah yang pernah dikuasainya menjadi miliknya, tanggal 24 Februari 1757 atas kemauan sendiri ia datang menghadap Sunan Paku Buwana III di Desa Grogol (7 km dari Sala).
Selanjutnya dengan perantaraan Gubernur Nicolas Harthgh, diadakan perundingan antara Raden Mas Said dengan Sunan Paku Buwana III pada tanggal 17 Maret 1757 di Salatiga, disaksikan Raden Adipati Danurejo sebagai wakil Sultan Hamengku Buwana I. Dalam Perjanjian Salatiga tersebut ditetapkan bahwa Raden Mas Said mendapat tanah sebagian dari Kesunanan Surakarta yang kemudian disebut Mangkunegaran, dan ia menjadi pangeran merdeka dengan gelar Mangkunegaran I. Demikian Mataram telah dipecah menjadi tiga bagian: Kesunanan Surakarta, Kesultanan Ngayogyakarta Adiningrat, dan Mangkunegaran.
Sultan Hamengku Buwana I dengan nama lengkapnya Sultan Hamengku Buwana Sinapati Ing Alaga Abdulrahman Sayi'din Pnatagama Kalifatullah I, pada tanggal 13 Maret 1755, sebulan setelah Perjanjian Gianti mengumumkan kepada khalayak ramai, bahwa separo dari Negara Mataram yang dikuasainya itu, diberi nama Ngayoyakarta Adiningrat, beribu kota di Yogyakarta. Nama tersebut dipilih oleh Sultan diperkirakan untuk menghormatitempat yang bersejarah yaitu hutan beringin yang pada waktu Sunan Amangkurat I yang lalu sudah merupakankota kecil yang indah,dan ada istana (tempat) pesanggrahan bernama Gerjitawati. Kemudian pada masa Sunan Paku Buwana II yang bertahta di Kartasura, nama pesanggrahan tersebut diganti dengan Ngayogya, yang masa itu digunakan untuk tempat pemberhentian jenazah yang akan dimakamkan di Imogiri, sehingga pesanggrahan tersebut dipandang suci.
Setelah Sultan Hamangku Buwana I menetapkan Ngayogya sebagai pusat kerajaan baru tersebut, Sultan segera memerintahkan untuk membangunnya yang dimulai dengan keraton sebagai pusat dan permulaan bangunannya. Sementara itu Sultan bersama keluarga dan pengikut-pengikutnya menempati pesanggrahan Gamping, yang letaknya sekitar 5 km di sebelah barat ibu kota yang sedang dibangun. Pesanggrahan yang ditempati Sultan Hamangku Buwana I bersama dengan keluarga dan pengikutnya tersebut dikenal sebagai Istana (Ngambar) Ambar Ketawang. Pesanggrahan ini mempunyai sifat-sifat pertahanan, karena letaknya di samping sebuah gunung gamping, yang memberi perlindungan kuat kepada penghuninya. Sayang sekali gunung gamping yang bersejarah itu sekarang sudah hampir habis sama sekali, karena telah digempur oleh rakyat untuk bahan kapur, kini masih sedikit saja yang bisa diselamatkan. Konon dari gunung gamping yang terletak membujur ke sebelah timur laut Istana Ambar Ketawang tersebut terdapat gua yang menghubungkan keduanya. Gua yang dari bekas-bekasnya tampak dibuat sengaja tersebut itu, sangat mirip dengan lubang perlindungan atau sebagai benteng pertahanan, karena pintu gua yang di sebelah barat mempunyai hubungan langsung dengan Istana Ambar Ketawang.
Istana Ambar Ketawang sebelumnya dikenal dengan nama Purapara, yaitu gedung tempat orang yang tengah bepergian. Bangunan yang berukuran 80 x 150 meter tersebut bila dihubungkan dengan sejarah hutan beringin yang berasal dari kata-kata pabringan, yaitu tempat untuk memberi tanda-tanda pada wktu orang ramai berburu hewan di hutan, maka besar kemungkinan Istana Ambar Ketawang tersebut dulu merupakan pesanggrahan pada waktu Sultan Mataram dengan pengiringnya sedang berburu hewan di hutan beringin.
Sultan Hamangku Buwana I mulai menempati Istana Ambar Ketawang pada hari Kamis tanggal 9 Oktober 1755, dan kira-kira setahun kemudian setelah sebagian dari bangunan-bangunan di dalam keraton selesai, Sultan berkenan memasuki Keraton Ngayogyakarta (Yogyakarta) pada hari Kamis tanggal 7 Oktober 1756. Kepindahan Sultan tersebut diperingati dengan lukisan dua ekor naga yang ekornya saling melilit, ditempatkan di atas Banon renteng (tembok serupa perisai) pada gapura belakang. Lukisan itu disebut "candra sengkala memet", artinya angka-angka dari tahun Jawa yang dilukiskan dengan kata-kata yang berwujud gambaran. Gambaran itu berbunyi Dwi naga rasa tunggal = 1682 C (1756 M).
Bahwa pembangunan keraton Yogyakarta dirancang dan diawasi sendiri oleh Sultan Hamangku Buwana I, demikian juga dengan pembangunan Taman Sari. Taman Sari adalah salah satu tempat istirahat yang letaknya ada di samping keraton sebelah barat. Tentang tempat dibangunnya ibu kota Ngayogyakarta condong kepada "pertahanan" dapat diperkuat dengan berdirinya Taman Sari, yang merupakan bagian dari keraton. Orang Barat mengenalnya sebagai "water kastel". Pada bagian-bagian sebelah dalam, di antaranya terdapat juga jalan-jalan kecil di dalam tanah yang menembus ke beberapa jurusan, berbeluk-beluk, di anataranya ada yang menembus sampai ke luar kota. Sehingga Taman Sari tidak hanya hanya tempat beristirahat, tetapi pada hakekatnya mempunyai arti lain yang berhubungan dengan pertahanan.
Ketika Daendels tahun 1808 menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda ia mengangkat wakil-wakilnya di keraton Jawa dengan sebutan Manteri Raja Belanda yang harus diperlakukan sama dengan para raja. Kalau Sultan Surakarta mau tunduk, maka Sultan Yogyakarta tidak. Akibatnya tahun 1810 Daendels mengganti Sultan Hamangku Buwana I dengan Sultan Hamangku Buwana II yang juga bersedia menyerahkan sebagian daerah kesultanan kepada Belanda di samping harus bersedia memenuhi keinginan Daendels lainnya.
Tahun 1811 Hindia Belanda jatuh ke tangan Pemerintah Inggeris. Ketika itu pula Sunan Surakarta dan Sultan Yogyakarta bersama-sama menentang kekuasaan Inggeris. Akibatnya pada tahun 1812 keraton Yogyakarta diserbu oleh tentara Inggeris. Harta kekayaan keraton disita dan Sultan Hamangku Buwana II diganti dengan Sultan Hamangku Buwana III. Demikian pula Kesunanan Surakarta kemudian dipaksa untuk menyerahkan beberapa obyek seperti hutan jati, rumah cukai, pasar dan beberapa fasilitas lainnya.
Dalam suasana keruh tersebut di Kesultanan Yogyakarta lahir Pemerintahan Kadipaten Paku Alaman pada tanggal 17 Maret 1813. Pangeran Notokusomo, putra Hamangku Buwana I diangkat menjadi Pangeran merdeka dengan gelar Pangeran Adipati Paku Alam I. Hal ini dinyatakan dalam kontrak yang ditandatangani oleh Sri Paku Alam I dengan John Crawfurd pada tanggal 17 Maret 1813.
Dengan lahirnya pemerintahan Kadipaten Pakualaman maka ibu kota Yogyakarta Adiningrat menjadi berubah, karena ibu kota Paku Alaman ada di dalam ibu kota Yogyakarta Adiningrat. Ibu kota Paku Alaman tersebut menempati sebagian kecil sebelah timur Sungai Code terdiri dari Kampung Notokusuman, yakni kampung kediaman Sri Paku Alam I selagi masih menjadi Pangeran Miji. Kampung itu kemudian diberi berpagar, sehingga juga merupakan sebuah benteng.
Demikian Kerajaan Mataram yang dirintis oleh Ki Ageng Pemanahan dengan rajanya yang pertama Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Alaga (1584-1601), setelah berlangsung diperintah silih berganti di bawah turunannya, akhirnya pecah di bawah empat kekuasaan, yakni Kesunanan Surakarta, dan Mangkunegaran yang saat ini masuk dalam wlayah Propinsi Jawa Tengah, serta Kesultanan Ngayogyakarta, dan Kadipaten Paku Alaman yang sekarang berada di wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Home
»
»Unlabelled
» KOTAGEDE KE KERATON YOGYA DAN PAKU ALAMAN