Berdirinya Kerajaan Timbanganten merupakan kelanjutan dari Kerajaan Mandala Dipuntang (Panembong Bayongbong), dimana rajaan Prabu Derma Kingkin sebagai Nalendra terakhir Kerajaan Mandala di Puntang, lalu ia memindahkan pusat kerajaan dari Panembong ke daerah Timbanganten (daerah yang sekarang disebut Tarogong).
Timbanganten merupakan daerah sekitar Gunung Guntur, lantas Derma Kingkin mengganti nama kerajaan Mandala di Puntang menjadi Kerajaan Timbanganten. Sunan Derma Kingkin memiliki lima orang putra, yaitu : Sunan Kacue dikenal dengan nama Baginda Salemba, Nalendra Sunan Ranggalawe, Dalem Cicabe di Suci Garut, Dalem Cibeureum di korobokan Limbangan, Dalem Kandang Serang di Cilolohan, dan Dalem Kowang di Pagaden Subang.
Timbanganten merupakan bagian dari sejarah Jawa Barat, dan termasuk wilayah dari Tatar Ukur. Tatar Ukur, menurut naskah Sadjarah Bandung, adalah daerah Kerajaan Timbanganten dengan ibukota di Tegal luar. Kerajaan itu berada di bawah dominasi Kerajaan Sunda-Pajajaran.
Sejak pertengahan Abad ke-15, Kerajaan Timbanganten diperintah secara turun-temurun oleh Prabu Pandaan Ukur, Dipati Agung, dan Dipati Ukur. Pada masa pemerintahan Dipati Ukur, Tatar Ukur merupakan suatu wilayah yang cukup luas, mencakup sebagian besar Wilayah Jawa Barat, terdiri dari sembilan daerah yang disebut “Ukur Sasanga”.
Setelah Kerajaan Sunda-Pajajaran runtuh (8 Mei 1579 M) akibat serangan Pasukan Banten dalam usaha menyearkan Agama Islam di daerah Jawa Barat, Tatar Ukur menjadi wilayah kekuasaan kerajaan Sumedanglarang, penerus Kerajaan Pajajaran. Kerajaan Sumedanglarang didirikan dan diperintah pertama kali oleh Prabu Geusan Ulun (1580-1608), dengan ibukota di Kutamaya, suatu tempat yang terletak di sebelah Barat Kota Sumedang sekarang. Wilayah kekuasaan Kerajaan itu meliputi daerah yang kemudian disebut Priangan, kecuali Daerah Galuh (sekarang bernama Ciamis).
Ketika Sumedanglarang diperintah oleh Raden Aria Suriadiwangsa, anak tiri Geusan Ulun dari Ratu Harisbaya, Sumedang Larang menjadi daerah kekuasaan Mataram sejak Tahun 1620. Sejak itu status Sumedang Larang pun berubah dari Kerajaan menjadi Kabupaten dengan nama Kabupaten Sumedang. Mataram menjadikan Priangan sebagai daerah pertahanannya di bagian Barat terhadap kemungkinan serangan pasukan Banten dan Kompeni yang berkedudukan di Batavia, karena Mataram di bawah pemerintahan Sultan Agung (1613-1645) bermusuhan dengan Kompeni dan Konflik dengan Kesultanan Banten.
Untuk mengawasi Wilayah Priangan, Sultan Agung Raden Aria Suriadiwangsa menjadi “Bupati Wedana” (Bupati kepala) di Priangan (1620-1624), dengan gelar Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata/Rangga Gempol I. Tahun 1621, Sultan Agung memerintahkan Rangga Gempol I untuk menaklukkan Daerah Sampang (Madura). Oleh karena itu, jabatan “Bupati Wedana” Priangan diwakilkan kepada adik Rangga Gempol I, yaitu Pangeran Dipati Rangga Gede. Tidak lama, setelah Pangeran Dipati Rangga Gede menjabat Bupati Wedana, Sumedang diserang oleh Pasukan Banten. Oleh karena, sebagian Pasukan Sumedang berangkat ke Sampang, Pangeran Dipati Rangga Gede tidak dapat mengatasi serangan tersebut. Akibatnya, ia menerima sanksi politis dari Sultan agung. pangeran dipati Rangga Gede ditahan di Mataram.
Jabatan Bupati Wedana Priangan diserahkan kepada Dipati Ukur, dengan syarat ia harus dapat merebut Batavia dari kekuasaan kompeni Belanda. Tahun 1628 Sultan Agung memerintahkan Dipati ukur untuk membantu pasukan Mataram menyerang kompeni di Batavia. Akan tetapi serangan itu mengalami kegagalan. Dipati Ukur sangat menyadari bahwa sebagai resiko dari kegagalan tersebut, ia akan menerima sanksi berat dari raja Mataram, misalnya seperti hukuman yang dialami Pangeran Dipati Rangga Gede, atau hukuman yang lebih berat lagi. Oleh karenanya, Dipati Ukur beserta para pengikutnya membangkang terhadap Mataram. Setelah penyerangan terhadap kompeni gagal, mereka tidak datang ke Mataram melaporkan kegagalan tugasnya.
Tindakan Dipati Ukur dianggap Pihak Mataramsebagai tanda pemberontakan terhadap penguasa kerajaan Mataram. terjadinya pembangkangan Dipati Ukur beserta pengikutnya dimungkinkan, antara lain karena Pihak Mataram sulit untuk mengawasi daerah Priangan secara langsung, akibat jauhnya jarak antara pusat Kerajaan Mataram dengan Daerah Priangan. Secara teori, bila daerah koloni jauh dari pusat kekuasaan,’ maka kekuasaan pusat di daerah itu sangat lemah. Namun demikian, berkat bantuan beberapa kepala daerah di Priangan, pihak Mataram akhirnya dapat memadamkan “pemberontakan” Dipati Ukur.
Menurut Sejarah Sumedang (babad), Dipati Ukur tertangkap di Gunung Lumbung (Bandung) pada Tahun 1632. Setelah pemberontakan Dipati Ukur berakhir, jabatan Bupati Wedana diserahkan kembali oleh Sultan Agung kepada Pangeran Dipati Rangga Gede yang telah bebas dari hukumannya. Selanjutnya, Sultan Agung melaksanakan reorganisasi pemerintahannya di Priangan, dengan tujuan mempertahankan stabilitas dan keamanan daerah tersebut. Daerah Priangan di luar Sumedang dan Galuh dibagi menjadi 3 (tiga) kabupaten, yaitu Kabupaten Bandung, Kabupaten ParakanMuncang, dan Kabupaten Sukapura dengan mengangkat 3 (tiga) orang Kepala Daerah dari Priangan yang dianggap telah berjasa dalam memadamkan pemberontakan Dipati Ukur. Ketiganya, antara lain adalah :
Ki Asta Manggala, umbul Cihaurbeuti, diangkat sebagai “Mantri Agung”(Bupati) Bandung dengan gelar Tumenggung Wirangunangun.
Ki Tanubaya, diangkat sebagai Bupati Parakanmuncang.
Ngabehi Wirawangsa menjadi Bupati Sukapura dengan gelar Tumenggung Wiradadaha.
Ketiganya dilantik secara bersamaan berdasarkan “Piagem Sultan Agung” yang dikeluarkan Hari Sabtu Tanggal 9 Muharram Tahun Alip (Penanggalan Jawa). dengan demikian, Tanggal 9 Muharram Tahun Alip bukan hanya merupakan Hari jadi Kabupaten Bandung saja, namun sekaligus juga Hari jadi Kabupaten Sukapura dan Kabupaten Parakanmuncang.
Setelah ketiga Bupati tersebut dilantik di Pusat pemerintahan Mataram, mereka kembali ke daerah masing-masing. Sadjarah Bandung (naskah) menyebutkan bahwa Bupati Bandung Tumenggung Wirangunangun beserta pengikutnya dari Mataram kembali ke Tanah ukur. Pertama kali mereka datang ke daerah Timbanganten. Di sana Bupati Bandung mendapatkan 200 cacah. Selanjutnya Tumenggung Wirangunangun bersama rakyatnya membangun Krapyak, sebuah tempat yang terletak di tepi Sungai Citarum dekat muara Sungai Cikapundung (daerah pinggiran Bandung Selatan) sebagai ibukota Kabupaten. Sebagai daerah pusat Kabupaten Bandung, Krapyak dan daerah sekitarnya disebut “Bumi Ukur Gede”.
Wilayah Administratif Kabupaten Bandung di bawah pengaruh Mataram (hingga akhir Abad ke-17), belum diketahui secara pasti, karena sumber akurat yang memuat data tentang hal itu belum ditemukan. menurut sumber pribumi, pada Tahap awal Kabupaten Bandung melputi beberapa daerah , antara lain : Tatar Ukur termasuk Daerah Timbanganten, Kuripan, Sagaraherang, dan sebagaian Tanah Medang. Boleh jadi, Daerah Priangan di luar Kabupaten Sumedang, Parakanmuncang, Sukapura dan Galuh, yang semula merupakan Wilayah Tatar Ukur (Ukur Sasanga) pada masa pemerintahan Dipati Ukur, merupakan Wilayah Administratif Kabupaten Bandung waktu itu. Bila ini benar, maka Kabupaten Bandung dengan ibukota krapyak, wilayahnya mencakup Daerah Timbanganten, Gandasoli, Adiarsa, Cabangbungin, Banjaran, Cipeujeuh, Majalaya, Cisondari, Rongga, Kopo, Ujungberung, dan lain-lain (termasuk Kuripan, Sagaraherang, dan Tanah Medang).
Kerajaan Timbanganten yang merupakan kelanjutan dari Kerajaan Mandala Di Puntang (Untuk Kerajaan mandala Di Puntang, disilakan menyimak tulisan saya di dokumen DPP Gema Sunda Jabar) merupakan Bukti akan adanya kerajaan di Daerah Garut, khususnya di Daerah Tarogong sekarang. ketika penguasa terakhir yang bernama Dipati Ukur ditumpas oleh Mataram, maka Kerajaan Timbanganten ditinggalkan. Setelah dibentuknya Bandung yang mengambil bagian Tatar Ukur sebagai bagian dari sultan Agung atas keberhasilannya menumpas karaman Dipati Ukur. Sadjarah Bandung (Naskah), menyebutkan bahwa di Timbanganten hanya tersisa 200 cacah.
Naskah Sajarah Turunan Timbanganten
Naskah ini merupakan salah satu naskah kuno yang diketemukan di Kabupaten Garut. Naskah berukuran 21 x 29 cm, ruang tulisan : 19 x 27 cm, dan ketebalan naskah sebanyak 32 halaman. Naskah ini ditulis dalam bentuk prosa dan memakai Huruf Arab Pegon. Naskah berisi tentang sejarah turunan Kerajaan Timbanganten yang disebut-sebut cikal bakal Kabupaten Bandung, sebab Wilayah Kabupaten Bandung hampir sebagian besar bekas Tatar Ukur Timbanganten. Maka Naskah ini berisi silsilah pun berhubungan dengan keluarga bangsawan Timbanganten dan Bandung. Pada umumnya silsilah tersebut diawali dari Nabi Adam AS sebagai manusia pertama; kemudian melalui Nabi Muhammad, Ratu Galuh, Ciung Manarah dan Prabu Siliwangi (Raja Pajajaran). Ratu Galuh dianggap sebagai sebagai raja pertama di Pulau Jawa. Ada pun deskripsi naskah ini adalah sebagai berikut :
Keluarga bangsawan Timbanganten muncul sejak Dalam Pasehan menjadi Ratu di Kadaleman Timbanganten. Wilayah Kadaleman Timbanganten sekarang mencakup wilayah Kecamatan Tarogong Kaler dan Kidul, Samarang, Leles dan Kadungora (Cikembulan). Dalem Pasehan adalah keturunan dari Ciung Manarah yang lahir di Mandala Puntang. Ia pernah menjadi mertua Prabu Siliwangi. Prabu Siliwangi menikahi anaknya bernama Nyimas Ratna Inten Dewata. Sewaktu menjadi Raja, Dalem Pasehan menyandang gelar Sunan Permana di Puntang. Di akhir hayatnya, ia kemudian menjadi pertapa dan “menghilang” (tilem) di Gunung Satria.
Terdapat perbedaan mengenai Dalem Pasehan. Dalam sejarah Kerajaan Mandala di Puntang, tokoh ini merupakan penguasa kerajaan tersebut hingga akhirnya, berdasarkan keputusan Prabu Siliwangi di Pajajaran, kepemimpinan diserahkan kepada isterinya yang merupakan anak Dalem Pasehan sendir, yaitu Ratu Maraja Inten Dewata menjadi Nalendra di Kadaleman Mandala di Puntang. Perpindahan kekuasaan dari Kerajaan Mandala di Puntang menjadi Kadaleman Timbanganten terjadi pada masa pemerintahan Derma Kingkin.
Sebagai pengganti yang menjadi Ratu adalah anaknya Sunan Dayeuh Manggung yang dmakamkan di Dayeuh Manggung. Sunan dayeuh manggung wafat dan digantikan anaknya , Sunan Derma Kingkin yang makamnya di muara Sungai Cikamiri. Setelah Sunan Derma Kingkin meninggal, maka Sunan Ranggalawe, putranya yang menggantikan dan beribukota di Korwabokan. Kemudian setelah Sunan Ranggalawe, berturut-turut yang menjadi ratu di Timbanganten adalah Sunan Kaca (adik Ranggalawe), Sunan Tumenggung Pateon (menantu Sunan Kaca atau putra Sunan Ranggalawe), Sunan Pari (ipar Sunan Pateon), Sunan Pangadegan (adik Sunan Pateon) yang di makamkan di Pulau Cangkuang.
Sunan Pangadegan meninggal, maka yang menggantikan adalah Sunan Demang. Sunan Demang sendiri meninggal (dibunuh) di Mataram, dan penggantinya adalah Sunan Saanugiren (kakak Sunan Demang). Selanjutnya yang menggantikan Sunan Sanugiren, putranya Demang Wirakrama. Demang Wirakrama setelah meninggal dimakamkan di Sarsitu dan digantikan oleh Putranya, Raden Demang Candradita yang di kemudian hari menjadi Penghulu Bandung. Meninggal di Cikembulan dan dimakamkan di Tanjung Kamuning. Kakak Raden Demang Candradita, Raden Demang Ardisutanagara menjadi Dalem di Bandung dan setelah meninggal dimakamkan di astana Tenjolaya Timbanganten.
Pengganti Demang Ardisutanagara adalah Dalem Tumenggung Anggadireja , setelah meningggal dikenal dengan sebutan Sunan Gordah, Timbanganten. Pengganti Sunan Gordah, putranya bernama Raden Inderanegara dan bergelar Tumenggung Anggadireja, ketika meninggal dimakamkan di astana Tarik Kolor Bandung. Tumenggung Anggadireja meninggal digantikan putranya , Raden Anggadireja yang bergelar Dalem Adipati Wiranatakusumah. Dalem Adipati Wiranatakusumah meninggal dan dimakamkan di pinggir mesjid Tarik Kolor Bandung (sekarang lokasi Mesjid Agung Propinsi Jawa Barat, di Jalan Dalem Kaum Bandung). Selanjutnya, sebagai pengantinya adalah putranya bernama Dalem Dipati Wiratanukusumah.
Dalem Dipati Wiratanukusumah meninggal, maka yang menggantikannya Raden Nagara (putranya) serta bergelar Dipati Wiratanukusumah, tetapi tidak lama karena ia di bunuh kolonial Belanda. Dipati Wiratanukusumah digantikan putranya, Raden Rangga Kumetir dan bergelar Dalem Adipati. Sewaktu dalem Adipati meninggal yang menggantikan adalah saudaranya, bernama Raden Adipati Kusumadilaga Bintang (DALEM BINTANG).
Dalam naskah ini diuraikan mengenai batas-batas wilayah Timbanganten, Tanah Cihaur dan Tanah Ukur Pasir Panjang yang dibatasi Gunung Mandalawangi. Selanjutnya Timbanganten berganti nama menjadi Tarogong, dan sebagian dari Wilayah Tatar Ukur, sekarang termasuk pada wilayah Administratif Kabupaten Garut, yaitu : Kecamatan Tarogong Kaler dan Kidul (dimana pada saat proses pemekaran Kecamatan Tarogong Tahun 2002, Penulis terlibat langsung dan turut membidani lahirnya 2 kecamatan baru ini), kemudian Samarang, Leles, dan Kadungora atau Cikembulan. (TAMAT)
Sumber : Tatar Garut, 2007.
Timbanganten merupakan daerah sekitar Gunung Guntur, lantas Derma Kingkin mengganti nama kerajaan Mandala di Puntang menjadi Kerajaan Timbanganten. Sunan Derma Kingkin memiliki lima orang putra, yaitu : Sunan Kacue dikenal dengan nama Baginda Salemba, Nalendra Sunan Ranggalawe, Dalem Cicabe di Suci Garut, Dalem Cibeureum di korobokan Limbangan, Dalem Kandang Serang di Cilolohan, dan Dalem Kowang di Pagaden Subang.
Timbanganten merupakan bagian dari sejarah Jawa Barat, dan termasuk wilayah dari Tatar Ukur. Tatar Ukur, menurut naskah Sadjarah Bandung, adalah daerah Kerajaan Timbanganten dengan ibukota di Tegal luar. Kerajaan itu berada di bawah dominasi Kerajaan Sunda-Pajajaran.
Sejak pertengahan Abad ke-15, Kerajaan Timbanganten diperintah secara turun-temurun oleh Prabu Pandaan Ukur, Dipati Agung, dan Dipati Ukur. Pada masa pemerintahan Dipati Ukur, Tatar Ukur merupakan suatu wilayah yang cukup luas, mencakup sebagian besar Wilayah Jawa Barat, terdiri dari sembilan daerah yang disebut “Ukur Sasanga”.
Setelah Kerajaan Sunda-Pajajaran runtuh (8 Mei 1579 M) akibat serangan Pasukan Banten dalam usaha menyearkan Agama Islam di daerah Jawa Barat, Tatar Ukur menjadi wilayah kekuasaan kerajaan Sumedanglarang, penerus Kerajaan Pajajaran. Kerajaan Sumedanglarang didirikan dan diperintah pertama kali oleh Prabu Geusan Ulun (1580-1608), dengan ibukota di Kutamaya, suatu tempat yang terletak di sebelah Barat Kota Sumedang sekarang. Wilayah kekuasaan Kerajaan itu meliputi daerah yang kemudian disebut Priangan, kecuali Daerah Galuh (sekarang bernama Ciamis).
Ketika Sumedanglarang diperintah oleh Raden Aria Suriadiwangsa, anak tiri Geusan Ulun dari Ratu Harisbaya, Sumedang Larang menjadi daerah kekuasaan Mataram sejak Tahun 1620. Sejak itu status Sumedang Larang pun berubah dari Kerajaan menjadi Kabupaten dengan nama Kabupaten Sumedang. Mataram menjadikan Priangan sebagai daerah pertahanannya di bagian Barat terhadap kemungkinan serangan pasukan Banten dan Kompeni yang berkedudukan di Batavia, karena Mataram di bawah pemerintahan Sultan Agung (1613-1645) bermusuhan dengan Kompeni dan Konflik dengan Kesultanan Banten.
Untuk mengawasi Wilayah Priangan, Sultan Agung Raden Aria Suriadiwangsa menjadi “Bupati Wedana” (Bupati kepala) di Priangan (1620-1624), dengan gelar Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata/Rangga Gempol I. Tahun 1621, Sultan Agung memerintahkan Rangga Gempol I untuk menaklukkan Daerah Sampang (Madura). Oleh karena itu, jabatan “Bupati Wedana” Priangan diwakilkan kepada adik Rangga Gempol I, yaitu Pangeran Dipati Rangga Gede. Tidak lama, setelah Pangeran Dipati Rangga Gede menjabat Bupati Wedana, Sumedang diserang oleh Pasukan Banten. Oleh karena, sebagian Pasukan Sumedang berangkat ke Sampang, Pangeran Dipati Rangga Gede tidak dapat mengatasi serangan tersebut. Akibatnya, ia menerima sanksi politis dari Sultan agung. pangeran dipati Rangga Gede ditahan di Mataram.
Jabatan Bupati Wedana Priangan diserahkan kepada Dipati Ukur, dengan syarat ia harus dapat merebut Batavia dari kekuasaan kompeni Belanda. Tahun 1628 Sultan Agung memerintahkan Dipati ukur untuk membantu pasukan Mataram menyerang kompeni di Batavia. Akan tetapi serangan itu mengalami kegagalan. Dipati Ukur sangat menyadari bahwa sebagai resiko dari kegagalan tersebut, ia akan menerima sanksi berat dari raja Mataram, misalnya seperti hukuman yang dialami Pangeran Dipati Rangga Gede, atau hukuman yang lebih berat lagi. Oleh karenanya, Dipati Ukur beserta para pengikutnya membangkang terhadap Mataram. Setelah penyerangan terhadap kompeni gagal, mereka tidak datang ke Mataram melaporkan kegagalan tugasnya.
Tindakan Dipati Ukur dianggap Pihak Mataramsebagai tanda pemberontakan terhadap penguasa kerajaan Mataram. terjadinya pembangkangan Dipati Ukur beserta pengikutnya dimungkinkan, antara lain karena Pihak Mataram sulit untuk mengawasi daerah Priangan secara langsung, akibat jauhnya jarak antara pusat Kerajaan Mataram dengan Daerah Priangan. Secara teori, bila daerah koloni jauh dari pusat kekuasaan,’ maka kekuasaan pusat di daerah itu sangat lemah. Namun demikian, berkat bantuan beberapa kepala daerah di Priangan, pihak Mataram akhirnya dapat memadamkan “pemberontakan” Dipati Ukur.
Menurut Sejarah Sumedang (babad), Dipati Ukur tertangkap di Gunung Lumbung (Bandung) pada Tahun 1632. Setelah pemberontakan Dipati Ukur berakhir, jabatan Bupati Wedana diserahkan kembali oleh Sultan Agung kepada Pangeran Dipati Rangga Gede yang telah bebas dari hukumannya. Selanjutnya, Sultan Agung melaksanakan reorganisasi pemerintahannya di Priangan, dengan tujuan mempertahankan stabilitas dan keamanan daerah tersebut. Daerah Priangan di luar Sumedang dan Galuh dibagi menjadi 3 (tiga) kabupaten, yaitu Kabupaten Bandung, Kabupaten ParakanMuncang, dan Kabupaten Sukapura dengan mengangkat 3 (tiga) orang Kepala Daerah dari Priangan yang dianggap telah berjasa dalam memadamkan pemberontakan Dipati Ukur. Ketiganya, antara lain adalah :
Ki Asta Manggala, umbul Cihaurbeuti, diangkat sebagai “Mantri Agung”(Bupati) Bandung dengan gelar Tumenggung Wirangunangun.
Ki Tanubaya, diangkat sebagai Bupati Parakanmuncang.
Ngabehi Wirawangsa menjadi Bupati Sukapura dengan gelar Tumenggung Wiradadaha.
Ketiganya dilantik secara bersamaan berdasarkan “Piagem Sultan Agung” yang dikeluarkan Hari Sabtu Tanggal 9 Muharram Tahun Alip (Penanggalan Jawa). dengan demikian, Tanggal 9 Muharram Tahun Alip bukan hanya merupakan Hari jadi Kabupaten Bandung saja, namun sekaligus juga Hari jadi Kabupaten Sukapura dan Kabupaten Parakanmuncang.
Setelah ketiga Bupati tersebut dilantik di Pusat pemerintahan Mataram, mereka kembali ke daerah masing-masing. Sadjarah Bandung (naskah) menyebutkan bahwa Bupati Bandung Tumenggung Wirangunangun beserta pengikutnya dari Mataram kembali ke Tanah ukur. Pertama kali mereka datang ke daerah Timbanganten. Di sana Bupati Bandung mendapatkan 200 cacah. Selanjutnya Tumenggung Wirangunangun bersama rakyatnya membangun Krapyak, sebuah tempat yang terletak di tepi Sungai Citarum dekat muara Sungai Cikapundung (daerah pinggiran Bandung Selatan) sebagai ibukota Kabupaten. Sebagai daerah pusat Kabupaten Bandung, Krapyak dan daerah sekitarnya disebut “Bumi Ukur Gede”.
Wilayah Administratif Kabupaten Bandung di bawah pengaruh Mataram (hingga akhir Abad ke-17), belum diketahui secara pasti, karena sumber akurat yang memuat data tentang hal itu belum ditemukan. menurut sumber pribumi, pada Tahap awal Kabupaten Bandung melputi beberapa daerah , antara lain : Tatar Ukur termasuk Daerah Timbanganten, Kuripan, Sagaraherang, dan sebagaian Tanah Medang. Boleh jadi, Daerah Priangan di luar Kabupaten Sumedang, Parakanmuncang, Sukapura dan Galuh, yang semula merupakan Wilayah Tatar Ukur (Ukur Sasanga) pada masa pemerintahan Dipati Ukur, merupakan Wilayah Administratif Kabupaten Bandung waktu itu. Bila ini benar, maka Kabupaten Bandung dengan ibukota krapyak, wilayahnya mencakup Daerah Timbanganten, Gandasoli, Adiarsa, Cabangbungin, Banjaran, Cipeujeuh, Majalaya, Cisondari, Rongga, Kopo, Ujungberung, dan lain-lain (termasuk Kuripan, Sagaraherang, dan Tanah Medang).
Kerajaan Timbanganten yang merupakan kelanjutan dari Kerajaan Mandala Di Puntang (Untuk Kerajaan mandala Di Puntang, disilakan menyimak tulisan saya di dokumen DPP Gema Sunda Jabar) merupakan Bukti akan adanya kerajaan di Daerah Garut, khususnya di Daerah Tarogong sekarang. ketika penguasa terakhir yang bernama Dipati Ukur ditumpas oleh Mataram, maka Kerajaan Timbanganten ditinggalkan. Setelah dibentuknya Bandung yang mengambil bagian Tatar Ukur sebagai bagian dari sultan Agung atas keberhasilannya menumpas karaman Dipati Ukur. Sadjarah Bandung (Naskah), menyebutkan bahwa di Timbanganten hanya tersisa 200 cacah.
Naskah Sajarah Turunan Timbanganten
Naskah ini merupakan salah satu naskah kuno yang diketemukan di Kabupaten Garut. Naskah berukuran 21 x 29 cm, ruang tulisan : 19 x 27 cm, dan ketebalan naskah sebanyak 32 halaman. Naskah ini ditulis dalam bentuk prosa dan memakai Huruf Arab Pegon. Naskah berisi tentang sejarah turunan Kerajaan Timbanganten yang disebut-sebut cikal bakal Kabupaten Bandung, sebab Wilayah Kabupaten Bandung hampir sebagian besar bekas Tatar Ukur Timbanganten. Maka Naskah ini berisi silsilah pun berhubungan dengan keluarga bangsawan Timbanganten dan Bandung. Pada umumnya silsilah tersebut diawali dari Nabi Adam AS sebagai manusia pertama; kemudian melalui Nabi Muhammad, Ratu Galuh, Ciung Manarah dan Prabu Siliwangi (Raja Pajajaran). Ratu Galuh dianggap sebagai sebagai raja pertama di Pulau Jawa. Ada pun deskripsi naskah ini adalah sebagai berikut :
Keluarga bangsawan Timbanganten muncul sejak Dalam Pasehan menjadi Ratu di Kadaleman Timbanganten. Wilayah Kadaleman Timbanganten sekarang mencakup wilayah Kecamatan Tarogong Kaler dan Kidul, Samarang, Leles dan Kadungora (Cikembulan). Dalem Pasehan adalah keturunan dari Ciung Manarah yang lahir di Mandala Puntang. Ia pernah menjadi mertua Prabu Siliwangi. Prabu Siliwangi menikahi anaknya bernama Nyimas Ratna Inten Dewata. Sewaktu menjadi Raja, Dalem Pasehan menyandang gelar Sunan Permana di Puntang. Di akhir hayatnya, ia kemudian menjadi pertapa dan “menghilang” (tilem) di Gunung Satria.
Terdapat perbedaan mengenai Dalem Pasehan. Dalam sejarah Kerajaan Mandala di Puntang, tokoh ini merupakan penguasa kerajaan tersebut hingga akhirnya, berdasarkan keputusan Prabu Siliwangi di Pajajaran, kepemimpinan diserahkan kepada isterinya yang merupakan anak Dalem Pasehan sendir, yaitu Ratu Maraja Inten Dewata menjadi Nalendra di Kadaleman Mandala di Puntang. Perpindahan kekuasaan dari Kerajaan Mandala di Puntang menjadi Kadaleman Timbanganten terjadi pada masa pemerintahan Derma Kingkin.
Sebagai pengganti yang menjadi Ratu adalah anaknya Sunan Dayeuh Manggung yang dmakamkan di Dayeuh Manggung. Sunan dayeuh manggung wafat dan digantikan anaknya , Sunan Derma Kingkin yang makamnya di muara Sungai Cikamiri. Setelah Sunan Derma Kingkin meninggal, maka Sunan Ranggalawe, putranya yang menggantikan dan beribukota di Korwabokan. Kemudian setelah Sunan Ranggalawe, berturut-turut yang menjadi ratu di Timbanganten adalah Sunan Kaca (adik Ranggalawe), Sunan Tumenggung Pateon (menantu Sunan Kaca atau putra Sunan Ranggalawe), Sunan Pari (ipar Sunan Pateon), Sunan Pangadegan (adik Sunan Pateon) yang di makamkan di Pulau Cangkuang.
Sunan Pangadegan meninggal, maka yang menggantikan adalah Sunan Demang. Sunan Demang sendiri meninggal (dibunuh) di Mataram, dan penggantinya adalah Sunan Saanugiren (kakak Sunan Demang). Selanjutnya yang menggantikan Sunan Sanugiren, putranya Demang Wirakrama. Demang Wirakrama setelah meninggal dimakamkan di Sarsitu dan digantikan oleh Putranya, Raden Demang Candradita yang di kemudian hari menjadi Penghulu Bandung. Meninggal di Cikembulan dan dimakamkan di Tanjung Kamuning. Kakak Raden Demang Candradita, Raden Demang Ardisutanagara menjadi Dalem di Bandung dan setelah meninggal dimakamkan di astana Tenjolaya Timbanganten.
Pengganti Demang Ardisutanagara adalah Dalem Tumenggung Anggadireja , setelah meningggal dikenal dengan sebutan Sunan Gordah, Timbanganten. Pengganti Sunan Gordah, putranya bernama Raden Inderanegara dan bergelar Tumenggung Anggadireja, ketika meninggal dimakamkan di astana Tarik Kolor Bandung. Tumenggung Anggadireja meninggal digantikan putranya , Raden Anggadireja yang bergelar Dalem Adipati Wiranatakusumah. Dalem Adipati Wiranatakusumah meninggal dan dimakamkan di pinggir mesjid Tarik Kolor Bandung (sekarang lokasi Mesjid Agung Propinsi Jawa Barat, di Jalan Dalem Kaum Bandung). Selanjutnya, sebagai pengantinya adalah putranya bernama Dalem Dipati Wiratanukusumah.
Dalem Dipati Wiratanukusumah meninggal, maka yang menggantikannya Raden Nagara (putranya) serta bergelar Dipati Wiratanukusumah, tetapi tidak lama karena ia di bunuh kolonial Belanda. Dipati Wiratanukusumah digantikan putranya, Raden Rangga Kumetir dan bergelar Dalem Adipati. Sewaktu dalem Adipati meninggal yang menggantikan adalah saudaranya, bernama Raden Adipati Kusumadilaga Bintang (DALEM BINTANG).
Dalam naskah ini diuraikan mengenai batas-batas wilayah Timbanganten, Tanah Cihaur dan Tanah Ukur Pasir Panjang yang dibatasi Gunung Mandalawangi. Selanjutnya Timbanganten berganti nama menjadi Tarogong, dan sebagian dari Wilayah Tatar Ukur, sekarang termasuk pada wilayah Administratif Kabupaten Garut, yaitu : Kecamatan Tarogong Kaler dan Kidul (dimana pada saat proses pemekaran Kecamatan Tarogong Tahun 2002, Penulis terlibat langsung dan turut membidani lahirnya 2 kecamatan baru ini), kemudian Samarang, Leles, dan Kadungora atau Cikembulan. (TAMAT)
Sumber : Tatar Garut, 2007.